Selasa, 13 Oktober 2009

Apakah Musibah Selalu Karena Dosa-Dosa?


Hidup kita di kelilingi oleh berbagai musibah. Entah itu musibah yang menimpa orang-orang di sekitar kita atau yang menerpa diri kita. Jeritan rasa takut terhadap ketidakpastian masa depan, lolongan keperihan menahan lapar, sedih karena kehilangan harta atau karena tidak punya harta sama sekali, sakit yang tak kunjung sembuh atau bahkan kematian, gagal panen, bencana alam. Semua berseliweran di depan mata kita. Sebagian kita mengatakan, musibah terjadi karena dosa-dosa.

Pandangan ini ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya benar. Mengapa? Ada dua perspektif yang secara simultan harus dipergunakan untuk melihat hakikat musibah, perspektif akal (aqlî) dan perspektif wahyu (naqlî). Kedua-duanya harus kita miliki karena saling melengkapi. Kedua perspektif ini melihat dari sudut pandang yang berbeda untuk sebuah objek yang sama. Perspektif akal dapat menjawab pertanyaan 'mengapa ada musibah di dunia ini'. Sedangkan wahyu memandang dari sudut pandang lain yaitu, 'apa tujuan Allah menimpakan musibah pada seseorang dan respon apa yang Allah inginkan dari orang itu melalui musibah tersebut' I. Perspektif Akal ('Aqlî) Kita lihat perspektif pertama, bagaimana akal memandang musibah. Ambil kasus orang yang terinfeksi flu burung misalnya. Bagi orang itu peristiwa tubuhnya didiami oleh virus adalah suatu musibah. Tetapi bagi virus H5N1, tinggal di tubuh inangnya adalah suatu keharusan agar dapat mempertahankan eksistensinya. Virus hanya dapat bereproduksi di dalam material hidup dengan menginvasi dan memanfaatkan sel makhluk hidup karena virus tidak memiliki perlengkapan selular untuk bereproduksi sendiri.

Dalam sel inang, virus merupakan parasit obligat dan di luar inangnya menjadi tak berdaya. Kita lihat betapa mulianya maksud virus tinggal di tubuh inangnya, yaitu bertahan hidup dan berkembang biak. Hidup demikian berharga bagi virus H5N1. Bagi orang yang terinfeksi tadi adalah sebuah musibah, bagi virus adalah suatu keharusan. Tetapi, ketika orang tadi mulai berobat, meningkatkan kekebalan tubuh, minum obat antivirus untuk menghambat replikasinya; sekarang bagi virus hal ini adalah musibah. Apa lagi kalau ia kehilangan sel inangnya atau bahkan mengalami kematian.

Demikian juga bencana alam, tsunami terjadi karena air laut patuh mengikuti hukum alam. Air laut melesak masuk ke patahan raksasa. Ketika patahan itu naik, maka air pun ikut dimuntahkan. Bagi air mengikuti hukum alam adalah suatu keniscayaan, bagi manusia yang diterjang muntahan air tadi suatu musibah besar. Jika kita melakukan analisa untuk berbagai kasus lainnya dengan melihat dari kedua sisi sekaligus, sisi penyebab musibah dan yang terkena musibah, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa musibah adalah suatu hal yang takterhindarkan (inevitable) dalam kondisi alam dan tubuh manusia yang serba terbatas (tidak ideal). Sehingga, jika ditanyakan, seandainya seluruh manusia taat kepada Allah dan tidak berdosa sedikit pun apakah akan ada musibah? Dengan yakin akal mengatakan, pasti ada musibah. Paling tidak musibah kematian.

Sejarah mencatat, para nabi as yang ma'shum (terjaga dari berbuat dosa) pun mengalami kematian dan beberapa di antaranya beliau as dapat kita kunjungi makamnya. Hal ini memperlihatkan bahwa tubuh-tubuh mereka pun terkena musibah, meskipun mereka tanpa dosa. Kita hidup di dunia penciptaan dan pemusnahan (al-kawn wa al-fasâd / generation and corruption), di mana seluruh mahluk berebut mempertahankan eksistensi, maka musibah menjadi suatu keniscayaan. Kapankah musibah itu tidak ada? Kalau ada alam yang kondisinya demikian ideal dan tubuh kita pun demikian ideal. Kedua-duanya harus dalam kondisi ideal. Jika salah satu saja yang ideal maka pasti ada musibah. Di surga alamnya demikian ideal dan tubuh manusianya pun ideal. Di sana tanahnya demikian luas, tidak ada percekcokan memperebutkan batas patok tanah. Udaranya segar, kenikmatannya langgeng. Di sana tidak ada sakit, kelaparan, kelelahan, kesedihan, percekcokan, bencana alam dan kematian. Di surga tidak ada musibah. Neraka, kondisi alamnya sangat ideal. Panasnya sempurna, luasnya sempurna, busuknya sempurna, keringnya sempurna. Tetapi celakanya, manusia yang menghuninya tidak sempurna. Bagi manusia yang tinggal di sana neraka adalah musibah besar. Berbeda dengan malaikat Malik dan Zabaniyyah penjaga neraka. Neraka bukan musibah bagi mereka. Tubuh-Tubuh malaikat penjaga neraka adalah tubuh-tubuh ideal. Analis akhir menurut perspektif akal, kita hidup di dunia yang alamnya tidak ideal dan tubuh kita pun tidak ideal maka musibah adalah sesuatu hal yang takterhindarkan (inevitable)............ bersambung ........... !

Tidak ada komentar: