Sabtu, 26 September 2009

Cara Alloh Memberi Sesuatu yang Lebih Baik


Ini cerita tentang Annisa, gadis kecil berusia lima tahun. Suatu sore, Annisa menemani Bundanya berbelanja di suatu supermarket. Ketika menunggu giliran membayar, Annisa melihat sebentuk kalung mutiara putih berkialuan, tergantung dalam kotak berwarna pink yang sangat cantik. Kalung itu nampak begitu indah, sehingga Annisa sangat ingin memilikinya. Tapi, dia tahu, pasti Bundanya sangat keberatan. Seperti biasanya, sebelum berangkat ke supermarket dia sudah berjanji tidak akan meminta apapun selain yang sudah disetujui untuk dibeli. Dan tadi Bundanya sudah menyetujui untuk membelikannya kaos kaki berenda yg cantik.

Namun karena kalung itu sangat indah, diberanikannya untuk bertanya Bunda bolehkah Annisa memiliki kalung ini? Bunda boleh mengembalikan kaos kaki yang tadi… Sang Bunda segera mengambil kotak kalung dari Annisa. Dibaliknya tertera harga Rp 15,000,-. Dilihatnya mata Annisa yg memandangnya dengan penuh harap dan cemas.

Sebenarnya dia bisa saja langsung membelikan kalung itu, namun ia tidak mau bersikap tidak konsisten. Oke…Annisa, kamu boleh memiliki kalung ini. Tapi kembalikan kaos kaki yg kau pilih tadi. Dan karena harga kalung ini lebih mahal dari kaos kaki itu, Bunda akan potong uang tabunganmu untuk minggu depan. Setuju?

Annisa mengangguk lega dan segera berlari irang mengembalikan kaos kaki ke raknya. Terimakasih. ..Bunda. Annisa sangat menyukai dan menyayangi kalung mutiaranya. Menurutnya kalung itu membuatnya nampak cantik dan
dewasa. Dia merasa secantik Bundanya. Kalung itu tidak pernah lepas dari lehernya, bahkan ketika tidur. Kalung itu hanya dilepaskannya jika mandi atau berenang. Sebab, kata Bundanya, jika basah kalung itu akan rusak, dan membuat lehernya menjadi hijau…

Setiap malam sebelum tidur, Ayah Annisa akan membacakan cerita pengantar tidur. Pada suatu malam, ketika selesai membacakan sebuah cerita, Ayah bertanya: Annisa…, Annisa sayang nggak sama Ayah? Tentu dong…Ayah pasti tahu kalau Annisa sayang Ayah! Kalau begitu, berikan kepada Ayah kalung mutiaramu… Yah…, jangan dong Ayah! Ayah boleh ambil Si Ratu boneka kuda dari nenek! Itu kesayanganku juga. Ya sudahlah sayang…nggak apa-apa! Ayah mencium pipi Annisa sebelum keluar dari kamar Annisa.

Kira-kira semingu berikutnya setelah selesai membacakan cerita, Ayah bertanya lagi: Annisa…, Annisa sayang nggak sama Ayah?
Ayah, Ayah tahu bukan kalau Annisa sayang banget sama Ayah?
Kalau begitu berikan pada Ayah kalung mutiaramu.
Jangan Ayah…, tapi kalau Ayah mau, Ayah boleh ambil boneka Barbie
ini. Annisa seraya menyerahkan boneka Barbie yang selalu menemaninya
bermain.

Beberapa malam kemudian, ketika Ayah memasuki kamarnya, Annisa sedang duduk di atas tempat tidurnya. Ketika didekati, Annisa rupanya menangis diam-diam. Kedua tangannya tergenggam diatas pangkuan. Dari matanya, mengalir bulir-bulir air mata membasahi pipinya. Ada apa Annisa, kenapa Annisa?

Tanpa berucap sepatah kata pun, Annisa membuka tangannya. Di dalamnya melingkar cantik kalung mutiara kesayangannya. Kalau Ayah mau… ambillah kalung Annisa. Ayah tersenyum mengerti, diambilnya kalung itu dari tangan mungil Annisa. Kalung itu di masukkan kedalam kantong celana. Dan dari kantong satunya, dikeluarkan sebentuk kalung mutiara putih…sama
cantiknya dengan kalung yang sangat disayangi Annisa.

Annisa… ini untuk Annisa. Sama bukan? Memang begitu nampaknya tapi kalung ini tidak akan membuat lehermu menjadi hijau. Ya… ternyata Ayah memberikan kalung mutiara asli untuk menggantikan kalung mutiara imitasi Annisa.

Sahabat, demikian pula halnya dengan Allah. Terkadang Dia meminta sesuatu kepada kita, karena Dia berkenan untuk menggantikannya dengan yang lebih baik. Namun, kadang-kadang kita seperti atau lebih naïf dari Annisa: menggenggam erat sesuatu yang kita amat berharga, dan oleh karenanya tidak ikhlas bila harus kehilangannya….

* **Finally…,*
*Jangan terlalu gembira atas apa yang diberikan padamu & jangan terlalu bersedih atas apa yang di ambil darimu ***
Mari wujudkan bantuan sebagai solidaritas sesama umat manusia mudah-mudahan Alloh memberi kesabaran,kekuatan lahir dan bathin bagi saudara-saudara kita yang sedang mendapat musibah dan mudah- mudahan Alloh memberi pahala dan ganti yang lebih baik dari musibah yang dialami

Minggu, 13 September 2009

Lailatul Qodr on line



“I’tikaf dimana Pak ?“, muncul tiba-tiba di YM saya malam ke-22 Romadhon ini. “Mas, di Jepang i’tikafnya bagaimana ?“, pertanyaan serupa di malam ke-21 kemarin.
I’tikaf atau berdiam diri di masjid selama 10 malam terakhir di bulan Romadhon adalah dambaan setiap muslim dan seharusnya menjadi menu wajib yang menghiasi detik-detik menyongsong berakhirnya bulan yang penuh barokah ini. Bagaimana tidak ? Akan luar biasa hasil yang didapat bila kita sukses menjalani. Cukup dengan berdiam diri saja, pahala pun mengalir deras, membandingi semua ibadah apapun yang dilakukan oleh kaum muslimin yang berada di luar masjid. Duduk dalam rangka i’tikaf ini setara dengan orang membaca Al Qur’an di malam itu, sholat terawih berkali-kali rokaat, dzikir dan do’a yang tak karuan panjangnya, dll, dengan catatan semuanya dikerjakan di luar masjid. Belum lagi janji Alloh berupa datangnya malam 1000 bulan. “Masya-Alloh, segala puji bagi Alloh yang memudahkan hamba-Nya dalam beribadah. Enak banget yo, ming lungguh, entuk pahala uakeh banget’”
Di sini, di Pulau Shikoku ini, bukannya kami tidak mau i’tikaf atau tidak ambil perduli dengannya dengan mendengkur semalaman. Keadaanlah yang memaksa kami begini. Kami hanya memiliki 1 masjid di pulau terbesar ke-4 se-Jepang ini. Itu pun kira-kira 1,5 jam dijangkau dengan naik kendaraan, numpang mobil teman PPI. Tentu sulit mencapainya di tengah malam bila harus menyusahkan orang lain yang tidak sepaham. Musholla MICC atau aula kampus tempat kami biasa melaksanakan sholat Jum’at juga tidak bisa diharapkan. Statusnya bukanlah masjid. Praktis malam-malam romadhon tahun ini saya lalui dengan suasana berbeda. Tidak ada i’tikaf dan tidak ada pula pengajian semalam suntuk yang diacarakan di masjid untuk menggapai lailatul qodr.
Namun “Tidak ada rotan, akar pun jadi”. Kalaupun tidak bisa i’tikaf, lailatul qodr harus didapat.
Acara pun mulai digelar. Ada pengajian on line asrama makna Al Qur’an setiap malam, penyampaian hadits dan nasehat. Semangat rasanya, tetap bisa ibadah walaupun saling berjauhan. Teman di seberang sana berasal dari Fukuoka, Tokyo, Osaka, Hiroshima, Hongkong, dll. Nylonong 1, 2, 3 orang dari Indonesia. Hampir semuanya senasib sepenanggungan. Bila acara selesai, kami pun melanjutkan ibadah sendiri-sendiri di apartemen hingga subuh tiba. Tapi ya … kalau ngantuk, tidak ada yang ngoprak-ngoprak supaya bangun. Tidak ada ongkek-ongkek, pijet-pijetan, dandangan yang merdu menggugah hati. Apalagi jaburan yang dibagikan di sela-sela pengajian. Hhmm … semuanya serba mandiri, dan kembali pada seberapa kuat keinginan kita menggapai malam 1000 bulan ini. Seberapa banyak persiapan yang telah kita lakukan sebelumnya.
Allohumma innaka ‘afuwwun kariim, tuhibbul ‘afwa fa’fu anniiin
Allohumma innaka ‘afuwwun kariim, tuhibbul ‘afwa fa’fu anniiin ……

Rabu, 09 September 2009

Waktu Ibadah Dan Kemu ?



Mari kita hitung, berapa banyak waktu yang kita alokasikan untuk ibadah. Sesuai dalilnya kalau jin dan munusia itu dicipta sebenarnya untuk ibadah pada Allah. Apalagi nanti balasannya adalah surga. Nah bagaimana peta jalan ke surga itu? Inilah sedikit kalkulasinya.

Rata – rata usia harapan hidup manusia kita ambil 65 tahun, maka waktu ibadah efektifnya harus dikurangi masa baligh. Jadi, 65 tahun dikurang 15 tahun sebagai rata – rata usia baligh bagi laki – laki. Karena sebelum baligh belum tercatat sebagai amalan pribadi. Akhirnya waktu ibadah kita ternyata hanya 50 tahun saja.

Apakah 50 tahun ini full untuk ibadah? Mari kita simak, bahwa manusia dalam 24 jam itu biasanya melakukan aktifitas sebagai berikut, tidur rata – rata 7 jam, bekerja 12 jam, aktivitas lainnya seperti ngobrol, bercengkrama, santai, bermain, nonton TV, dll kurang lebih 4 jam dan sisanya ternyata hanya 1 jam saja untuk ibadah. Sedikit bukan? Jika kita hitung selama 50 tahun total ibadah kita tak lebih dari 2 tahun atau cuma 4 % saja. Paling banyak waktu dialokasikan untuk bekerja (25 tahun), tidur (15 tahun) dan aktifitas lainnya (8 tahun).

Melihat kalkulasi ini betapa besar fadhl dan rahmat Allah yang diberikan kepada kita. Yang sedikit itu ternyata dibalas dengan surga. Jadi tidak sepantasnya kita malas untuk beribadah. Karena waktu ibadah kita ternyata lebih sedikit ketimbang waktu tidur kita. Dan Allah ridho dengan yang sedikit itu asalkan kita juga ridho menjaga niat kita tetap mukhlish lillah karena Allah dalam setiap amal ibadah kita. Hanya itu? Ya...

Kemu

Kalau anak saya yang pertama lain lagi. Memang dia sudah full puasa seharian. Namun ada satu tindakannya yang mencurigakan - aneh, yang saya perhatikan. Kalau sudah jam 12 lewat, dia suka pergi bolak – balik ke bak mandi dan kemu (berkumur - kumur) sambil raup atau cuci muka. Kemudian saya tanya, ”Kok ke kamar mandi terus?”
”Haus. Panasss....” katanya.
”Tapi gak boleh minum lho ya,,,” kata saya.
”Nggak kok, kan puasa,,,” sergahnya.

Kejadian itu mengingatkan aku kala bocah. Ketika siang tiba, saya selalu tengkurep di kolah (bak besar tempat wudhu di masjid kampung saya). Tak lain juga untuk raup dan kemu, sambil ngisep – ngisep dikit airnya. Jadi kalau anak saya berbuat begitu, saya hanya bisa mesam – mesem saja. Lha wong sudah pengalaman je,,,? Semoga semua menjadi pelajaran yang berharga buat dia.

Pengalaman memberikan ruang yang luas bagi sebuah pemahaman. Bersyukurlah bagi yang sudah punya banyak pengalaman hidup. Darinya kita bisa melihat indahnya dunia. Bukan menghakimi, tetapi menikmatinya.

Selasa, 08 September 2009

Bangun Pagi


Bangun pagi itu indah. Suasana pagi itu sejuk. Udara pagi itu sehat. Pagi itu penuh kedamaian dan harapan. Pagi itu start - awal kehidupan. Maka dari itu, banyak orang tua yang berpesan agar selalu dapat bangun pagi – pagi. Jangan malas. Apalagi sampai keduluan matahari. Pamali, kata orang sunda. Itu pesan luhur yang sering disuguhkan pada saya kala bocah. Sebab pada kenyataannya, pada usia- usia sekolah, memang susah untuk bangun pagi.. Apalagi sampai menikmati indahnya terbit matahari.

Apakah terbitnya matahari itu indah? Wow, luar biasa. Bagi kita yang sibuk dengan kerja, pergi petang, pulang juga petang, sempatkanlah untuk bisa menikmatinya. Nikmatilah indahnya pagi, kala mentari hendak berangkat meninggi. Sejuta kesan dan pemahaman begitu banyak terungkap di kala menyambut pagi, seperti sebait tembang dari guru SD saya ini;

ayam berkokok bersahutan
kelelawar kembali ke persembunyian
takut datangnya siang/kesiangan
di timur sudah memerah, dst..

Setidaknya setiap akhir pekan, ketika saya berkumpul dengan keluarga, saya pasti bisa menikmati indahnya pagi. Selepas subuh, si kecil sudah minta ditemani keluar rumah mengitari jalan komplek rumah kami. Dengan kayuhan sepeda, kami menyusuri lorong pagi hari dengan berkah yang banyak sekali. Udara segar, terasa murni tanpa polusi. Ada tetesan embun yang bening, menebar aroma dingin dan membuat sejuk serta adem di hati. Cess, meredam sisa – sisa amarah yang tertinggal. Kemudian udara diselimuti sedikit hamparan kabut lembut temaram, yang membuat mata menari - nari waspada dan enggan untuk memejam kembali. Pemandangan yang elok. Nuansa putih. Ada tiupan angin sepoi – sepoi, tak bersuara, menusuk pori – pori. Kicau burung, kokok ayam berlomba – lomba ‘pamer diri’, seolah menirukan kontes – kontes yang ada di tv. Merdu dan membawa wujud syukur menyambut pagi.

Kemudian nun jauh di atas sana, awan bersolek, berubah dari warna aslinya. Ketika datang pagi, awan berbaju warna seiring sorot sinar matahari. Awalnya yang gelap - hitam, kemudian sedikit benderang dengan balutan warna kemerahan di sekujur sisinya. Semakin lama semakin terang, jelas memerah, kemudian sedikit demi sedikit jingga beraduk. Dan lamat –lamat merekahlah bulatan merah di garis cakarawala. Semakin lama – semakin sempurna bulatnya dan tampaklah warna kekuningan - kuningan di sekitar awan, menggusur warna jingga dan merah sebelumnya. Akhirnya terang - benderang. Matahari menampakkan dirinya untuk menandai dimulainya hidup baru yang penuh semangat dan vitalitas. Matahari adalah symbol gagah dan berani. Dengan warna merah total yang tak tertandingi di pagi hari. Dialah matahari, menyapa alam semesta dan negeri ini.

Di saat itulah, saya merasakan banyak nikmat Allah yang terlewatkan begitu saja. Di pagi itulah, banyak penyegaran akan pemahaman hidup ini bermunculan. Dan waktu itulah, saya sadar bahwa banyak ayat-ayat Allah yang bisa saya deres kembali lewatnya. Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang niscaya jadi ayat bagi orang – orang yang berakal. (QS Ali Imron ayat 190). Allahu Akbar.

Pertama, saya teringat pelajaran tentang waktu sholat. Ketika saya tanya anak saya yang paling gede, kapan waktu shubuh? Dengan spontan dia jawab, dari jam 4.30 sampai jam 6.00 pagi. Jawaban yang jujur dan mewakili (kebanyakan). Sekarang muslim jarang yang mengetahui dengan pasti bagaimana tuntunan Nabi SAW dalam menentukan waktu sholat. Hadist yang ada sudah dikonversi ke jam, menit dan detik. Buat apa capek – capek mesti memperhatikan matahari, kan sudah ada jam? Begitulah kira – kira opini orang masa kini. Buat apa meski mengintip matahari jika bangun kesiangan? Kalau jarum jam masih belum di angka 6 dan kamar masih gelap, pasti masih waktu shubuh? Nah, timbullah menyepelekan diri. Melupakan ajaran yang hakiki. Padahal kalau mau, menikmati pagi hari itu mudah dan gampang sekali. Apalagi kalau cuma melongok matahari. Sejatinya Rasulullah SAW mengajarkan bahwa waktu subuh itu ketika terbit fajar sampai sebelum terbitnya matahari. Tentunya, setiap muslim harusnya bisa menikmati datangnya pagi setiap hari. Bahkan menyambutnya dengan dua rekaat sebelum sholat shubuh yang lebih baik daripada dunia dan seisinya ini.

Kedua, saya teringat salah satu doa Nabi SAW, Allahumma barik liummatii fii bukuurihaa – Ya Allah berilah kebarokahan bagi ummatku di dalam pagi – pagiannya (Kitabul Ahkam hal 26. Hadits no 49, dari Shokhr Alghomidi). Doa yang meresap. Dalam. masuk dan nempel kayak prangko. Memberikan motivasi dan kesegeran yang luar biasa abadi. Ajaran yang luhur, yang harusnya membuat manusia selalu bersemangat dalam hidup. Sebab mendapat doa Nabi. Tidak loyo dan tidak malas.

Ketiga,mensyukuri dan menikmati hidup ini. Bahwa penciptaan langit dan bumi serta perselisihan malam dan siang adalah ayat Allah Yang Maha Tinggi. Marilah kita nikmati. Marilah kita syukuri. Jangan biarkan anugerah yang besar ini lewat begitu saja setiap hari. Sebab suasana pagi bisa menghilangkan jiwa yang penat. Dia mengusir gundah pikiran, menghilangkan malas dari badan dan kebaikan lain seiring datangnya pagi. Marilah kita ikuti. Programlah hidup kita ini mengikuti pola alam semesta yang penuh kebarokahan ini. Penuh kesempurnaan, sehingga kita bisa berucap: keindahan alami untuk kebaikan diri. Karena sesungguhnya suguhan pagi hari adalah merupakan hukum – hukum Allah yang telah ditetapkan untuk semesta ini. Ia tidak akan berganti sebelum Allah menitahkan perubahannya. Oleh karenanya, mari nikmati bangun pagi …!

Jumat, 04 September 2009

Imam


Rasanya terlahir kembali. Setelah seminggu lebih bertaraweh, baru sekali ini hati saya terhanyut. Trenyuh. Haru. Dan ingin berlama – lama tarawehnya. Indah. Syahdu. Berharap jangan cepat selesai. Merdu suaranya. Berharap mengalami peristiwa seperti ini selamanya. Seperti mendapatkan suasana seperti di Makkah – Madinah. Sayang, kesempatan yang seperti itu jarang terjadi. Dan cepat selesai. Itulah sifat dunia, yang nggak langgeng adanya.
Malam itu, datanglah Kyai yang ganteng. Berbaju rapih, putih dan semerbak wangi. Harum. Kemudian qomat diperdengarkan. Dan selesai takbir, mengalunlah fatihah darinya. Indah, bagus, merdu dan membuat hati ini benar – benar khusyu’ sholat. Menyimak bacaannya jadi sumendal. Rasa lelah dan gelisah hilang. Hati gemetar mendengar ayat – ayat yang dibacakan. Begitu berarti dan susah untuk diungkapkan. Ya imam sholat itu benar – benar telah menegakkan sholat dengan seksama.

Maka tak heran kalau Nabi berwasiat, yang jadi imam adalah yang ahli baca diantara kalian. Maksudnya, kalau ada ya jadi imam itu yang indah lagunya dan merdu vokalnya, sehingga bisa menuntun hati jamaahnya untuk khusyu’. Dan malam itu benar – benar anugrah yang tak terlupakan. Saya bisa berjamaah dengan imam yang bagus bacaannya dan ganteng orangnya. Melebihi dunia seisinya.

Semua, kita hidup dalam keberagaman. Dan keindahan adalah salah satunya. Keindahan adalah universal. Dan ketika menjumpai keindahan bacaan dalam sholat adalah hal yang tak ternilai adanya. Sungguh menggugah, menghanyutkan dan menggetarkan hati untuk selalu ingat – ”bersenang – senang bercengkrama” - padaNya.

Rabu, 02 September 2009

Cukuplah Kematian Sebagai Peringatan


"Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!" (HR. Tirmidzi)

Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tak lari menyimpang.

Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.

1. Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga
Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.

Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, "Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya)."

Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, "Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan." Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.

Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44, "Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) dating azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: 'Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul.."

2. Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan 'habis', usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.

Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.

Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.

Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naïf kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.

3. Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Islam menggariskan bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu.

Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang. Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.

Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.

4. Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.

Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.

5. Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.

"Ad-Dun-ya mazra'atul lil akhirah." (Dunia adalah ladang buat akhirat)

Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.