Rabu, 10 Februari 2010

IKHLAS



Awal tahun lalu ada email yang dikirim salah satu saudara kita yang menarik perhatian saya. Kalau tidak salah berjudul Renungan Akhir Tahun: Seandainya Surga dan Neraka Tak Ada. Uraian panjang lebar itu, menurut saya intinya adalah satu yaitu masalah ikhlash. Seberapa besar sih, keikhlashan kita dalam beribadah? Sejauh mana sih pemahaman kita tentang ikhlash ini? Dan mana sih dalilnya? Kenapa begitu penting sampai – sampai dengan bombastis ditanyakan, apakah manusia mau tetap ibadah seandainya tidak ada surga dan neraka? Saya mencoba memahami dari sudut pandang yang berbeda, yaitu dari dinamika ikhlash ini, sebab dalil – dalilnya banyak kita jumpai dengan mudahnya.
Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan agama-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang murni. (QS Az-Zumar 2 - 3)

Dari Abu Umamah ia berkata, ‘Datang seorang lelaki kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Bagaimana pendapatmu seorang lelaki yang berperang mencari pahala dan sebutan (nama), dia mendapatkan apa?” Rasulullah SAW berkata, “Dia tidak mendapatkan apa – apa.” Lelaki itu mengulangi pertanyaannya tiga kali dan Rasulullah SAW selalu menjawab, “Dia tidak mendapatkan apa – apa.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali apa yang ikhlash karenaNYa dan dimaksudkan semata demi wajahNya. (Rowahu Abu Dawud)

Dari Abu Darda’, dari Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Dunia itu dilaknat dan apa yang ada di dalamnya dilaknat, kecuali apa yang dicari dengannya wajah Allah.” (Rowahu ath-Thabrani)

Atsar – atsar di atas dengan jelas menunjukkan pentingnya ikhlash dalam beramal. Dan salah satu cerita favorit saya masalah ikhlash ini adalah cerita tiga orang yang terjebak batu di gua. Berikut salah satu versinya.

Dari Ibnu Umar, dia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga umat dari sebelum kalian yang sedang bepergian, sehingga mereka harus bermalam di sebuah gua, mereka masuk ke dalamnya. Lalu sebuah batu besar menggelinding dari gunung dan menutup pintu goa. Mereka berkata, “Yang bisa menyelamatkan kalian dari batu besar ini hanyalah doa kalian kepada Allah dengan amal baik kalian.” Salah seorang dari mereka berkata; ’Ya Allah! aku dulu mempunyai kedua orang tua yang sudah renta dan aku tidak berani memberikan jatah minum mereka kepada keluargaku (isteri dan anak) dan harta milikku (budak dan pembantuku). Pada suatu hari, aku mencari sesuatu di tempat yang jauh dan sepulang dari itu aku mendapatkan keduanya telah tertidur, lantas aku memeras susu seukuran jatah minum keduanya, namun akupun mendapatkan keduanya tengah tertidur. Meskipun begitu, aku tidak berani memberikan jatah minum mereka tersebut kepada keluargaku (isteri dan anak) dan harta milikku (budak dan pembantuku). Akhirnya, aku tetap menunggu (kapan) keduanya bangun -sementara wadahnya (tempat minuman) masih berada ditanganku- hingga fajar menyingsing. Barulah keduanyapun bangun, lalu meminum jatah untuk mereka. ‘Ya Allah! jika apa yang telah kulakukan tersebut semata-mata mengharap wajahMu, maka renggangkanlah rongga gua ini dari batu besar yang menutup tempat kami berada. Lalu batu tersebut sedikit merenggang namun mereka tidak dapat keluar.

Rasulullah SAW bersabda lagi: ‘Yang lainnya (orang kedua) berkata: ‘Ya Allah! aku dulu mempunyai sepupu perempuan (anak perempuan paman). Dia termasuk orang yang amat aku kasihi, pernah aku menggodanya untuk berzina denganku tetapi dia menolak ajakanku hingga pada suatu tahun, dia mengalami masa paceklik, lalu mendatangiku dan aku memberinya 120 dinar dengan syarat dia membiarkan apa yang terjadi antaraku dan dirinya; diapun setuju hingga ketika aku sudah menaklukkannya, dia berkata: ’Tidak halal bagimu mencopot cincin ini kecuali dengan haknya’. Aku merasa tidak tega untuk melakukannya. Akhirnya, aku berpaling darinya padahal dia adalah orang yang paling aku kasihi. Aku juga, telah membiarkan emas yang telah kuberikan kepadanya. Ya Allah! jika apa yang telah kulakukan tersebut semata-mata mengharap wajahMu, maka renggangkanlah rongga gua ini dari batu besar yang menutup tempat kami berada. Lalu batu tersebut merenggang lagi namun mereka tetap tidak dapat keluar.

Rasulullah SAW bersabda lagi: ‘Kemudian orang ketigapun berkata: ‘Ya Allah! aku telah mengupah beberapa orang upahan, lalu aku berikan upah mereka, kecuali seorang lagi yang tidak mengambil haknya dan pergi (begitu saja). Kemudian upahnya tersebut, aku investasikan sehingga menghasilkan harta yang banyak. Selang beberapa waktu, diapun datang sembari berkata: “Wahai ‘Abdullah! Berikan upahku!. Aku menjawab: ’onta, sapi, kambing dan budak; semua yang engkau lihat itu adalah upahmu’. Dia berkata : ’Wahai ‘Abdullah! jangan mengejekku!’. Aku menjawab: “Sungguh, aku tidak mengejekmu’. Lalu dia mengambil semuanya dan memboyongnya sehingga tidak menyisakan sesuatupun. Ya Allah! jika apa yang telah kulakukan tersebut semata-mata mengharap wajahMu, maka renggangkanlah rongga gua ini dari batu besar yang menutup tempat kami berada. Batu besar tersebut merenggang lagi sehingga merekapun dapat keluar untuk melanjutkan perjalanan’. (Rowahu al-Bukhary, Muslim, an-Nasa’i)

Kemudian hadits qudsi yang ini, dari adh-Dhahak bin Qois, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah yang Maha Barokah lagi Maha Tinggi berfirman, ”Aku adalah sebaik – baik sekutu. Barangsiapa menyekutukanKu dengan seorang sekutu, maka ia untuk sekutuKu. Wahai manusia, ikhlashkanlah amal – amal kalian, karena Allah tidak menerima amal kecuali apa yang diikhlashkan untukNya. Jangan kalian berkata, ’Ini karena Allah dan kerabat, karena ia adalah karena kerabat dan tak ada sedikitpun darinya yang karena Allah. Jangan pula berkata ini karena Allah dan wajah – wajah kalian, karena ia adalah karena wajah – wajah kalian, dan tak sedikitpun darinya karena Allah.” (Rowahu al-Bazzar dan al-Baihaqi)
Nah, menerawang kembali dalil – dalil di atas, terlintaslah apa yang sering diingatkan Pak Haji Djuanda dulu untuk mengingat kembali dan meneliti agar satu-satunya diri bisa menjaga tiga kunci kemurnian selalu. Yaitu murni niat, murni pedoman dan murni amalan. Dan setelah tabrak sana – tabrak sini, kebentur sana – kebentur sini, kejedot sana kejedot sini, baru nyadar ternyata ikhlash itulah padanan lain dari kata murni. Terutama untuk kemurnian niat. Ikhlash adalah memurnikan ibadah hanya karena Allah. Ikhlash adalah memurnikan ibadah untuk mencari wajah Allah. Ikhlash adalah kesadaran beribadah karena tahu akan hak dan kewajiban atau kebaikan mengalahkan yang lain - lainnya. Bukan karena paksaan. Maka bagi yang ingin mendapatkan kejelasan lebih lanjut, bandingkanlah ikhlash ini dengan riya. Ikhlash tidak boleh ada embel – embel lain, ditumpangi atau disertai dengan lainnya. Bahkan dalam penyederhanaannya, Deddy Mizwar mencoba memberikan pemerian ikhlash dalam film Kiamat Sudah Dekat sebagai syarat terakhir dalam mencari menantu.

Membaca kembali dalil – dalil di atas, bukan bermaksud menggurui - rasanya ikhlash merupakan hal penting dalam beribadah. Ikhlash pegang peranan kunci dalam diterima atau ditolaknya amalan. Tanpa mengurangi rasa hormat, tanpa bermaksud berpanjang kali lebar, hal ini sering dinasehatkan dengan kalimat sederhana ”disertai niat mukhlish lillah karena Allah”. Dan tentunya, seiring dengan naik – turunnya keimanan itu sendiri, pemahaman, pencapaian dan pengertian ikhlash ini sangat tergantung bagaimana setiap insan mereposisi diri, mau fastabiqul khairot atau pilih yang sedang – sedang saja. Akhirnya, anda sendirilah yang bisa mengukur dan menjawabnya.

Tidak ada komentar: